RHINO CAMP & RAFFLESIA ITU

7 JULI 2019.
Rhino Camp, Rafflesia yang Gugur, dan RX King di Tengah Rimba
Salah satu destinasi istimewa di balik lebatnya Taman Nasional Bukit Barisan Selatan adalah Rhino Camp. Terletak di sektor Sukaraja Atas, tak jauh dari jalur lintas barat antara Kota Agung dan Bengkunat, tempat ini seperti semak kecil di tepi lorong besar, mudah ditemukan namun sering terlewatkan.
Saya tahu keberadaannya dari obrolan hangat semalam bersama para Polisi Hutan, saat menginap di kantor TNBBS. Pak Ardi, sang penjaga malam, menyarankan agar saya mampir ke sana karena—katanya—bunga Rafflesia sedang mekar.
Tak ingin kehilangan momen, selepas sarapan dan berfoto bersama para petugas yang akan berpatroli, saya mengayuh kembali, menyusuri tanjakan lembut yang terasa panjang. Jaraknya hanya sekitar 4 kilometer, tapi medan berbukit menyulap waktu jadi nyaris satu jam.
Rhino Camp dulu ditata sebagai titik pengamatan badak Sumatra. Kini, badak-badak itu tak lagi datang, tapi jejaknya tetap dijaga—sebagai pangkalan untuk mengenali flora dan fauna yang tinggal di pelipis hutan.
Di sini, Rafflesia bertumbuh diam-diam, kadang mekar penuh, kadang hanya bayangannya tersisa. Ada juga bunga bangkai, kantung semar, anggrek hutan. Satwanya pun beragam—Siamang, Rangkong, Kuau, Tarsius, Kancil, dan suara Owa yang kadang menggema di lembah.
Sayangnya, saat saya tiba, kabar yang dinanti sudah lewat. “Mekarnya cuma seminggu, Mas,” kata petugas yang berjaga. Rafflesia yang disebut itu telah membusuk.
Kami pun duduk-duduk di bangunan kayu berlantai dua, tempat peristirahatan para pengunjung. Bangunan itu sunyi tapi hidup, menyimpan suara daun, cerita satwa, dan hembusan angin yang membawa aroma dedaunan basah.
Setelah cukup berbincang, saya pamit untuk melanjutkan perjalanan menuju Bengkunat.
Medan masih rolling—turun, naik, melengkung. Di pinggir jalan, sekawanan monyet besar melintas santai, kadang mengharap uluran makanan dari tangan manusia yang singgah. Suara rantai sepeda yang bergemericik, dibalut nyanyian hutan, menciptakan suasana magis yang tak bisa dibeli.
Gapura Kabupaten Pesisir Barat menjulang seperti gerbang waktu. Beberapa kendaraan menyapa, lalu menghilang di tikungan, menyisakan jejak suara dan debu.
Di tengah kenikmatan batin itu, saya melihat sebuah motor RX King yang sedang didorong oleh 2 orang pemuda. Ban belakangnya kempes parah ternyata. Saya pun menawarkan pompa yang saya bawa berharap bisa sedikit meringankan beban. Tapi angin yang masuk tak bertahan lama. Bocornya sepertinya dalam.
Kami bertukar senyum. Saya pun pamit, melanjutkan langkah, sebab hutan belum mengisyaratkan ujungnya.

Turunan Tengkorak, Es Buah, dan Pelangi di Langit Bengkunat
Hutan masih mendominasi pandangan. Rimbun dan liar, menyimpan suara-suara alam yang bergema dari balik pepohonan. Di tengah suasana itu, sebuah papan tua terpasang di tepi jalan, bertuliskan “Turunan Tengkorak — Harap Hati-hati.” Nama yang mengandung peringatan, seperti bisikan kecil dari alam tentang apa yang akan datang.
Sepeda meluncur saat jalan mulai melandai. Namun, di satu turunan tajam, mobil travel dari arah berlawanan tiba-tiba mengambil jalur saya. Asal muasalnya: sisi kanan jalan penuh lubang, sang sopir terpaksa "menyelinap" ke jalur saya dengan kecepatan tinggi. Refleks, saya menepi keluar jalur—rem menggeret pasir, tubuh limbung sejenak, dan jurang di sisi kanan seperti menatap dengan mata terbuka. Nyaris...
Seorang bapak dari pos jaga berteriak, meminta saya berhenti dulu. Tapi setelah napas kembali normal dan tangan tak lagi bergetar, saya putuskan untuk melanjutkan, tentu dengan lebih waspada. Turunan belum habis, dan kelokan terus menantang hingga akhirnya pemukiman kecil tampak di depan.
Saat jalan mulai ramah, sepeda kembali melaju. Di tikungan, saya mendengar panggilan. Seorang pemuda yang tadi saya bantu di tengah hutan—yang ban motornya bocor—ternyata sudah di sebuah bengkel sederhana. Ia tersenyum, mengembalikan pompa, dan mengajak menikmati segelas es buah sebagai tanda terima kasih.
Di tengah siang yang masih panas, kaki selonjoran di teras bengkel, es buah dingin jadi teman refleksi akan momen di Turunan Tengkorak tadi sementara Pemuda itu bercerita: ia dan temannya sedang dalam perjalanan dari Pesawaran menuju Bengkulu untuk mencari pekerjaan. Mimpi dan jalanan bersatu dalam satu lintasan.
Setelah perut mulai berbunyi, saya berpamitan. Alam mulai berubah—rimbunnya hutan berganti aroma pesisir. Pohon-pohon keras digantikan deretan kelapa yang berdansa di angin. Jalan mulai mulus, marka membimbing, dan sebuah jembatan panjang membawa saya melintasi sungai yang hening.
Langit mendung, dan sebuah warung besar yang ramai oleh mobil-mobil travel Lampung–Bengkulu yang sedang parkir, memanggil. Namun saat sedang menyantap makanan, hujan deras turun, tanpa basa-basi.
Lama ditunggu, hujan pun reda, menyisakan pelangi melengkung di langit barat. Sepeda kembali bergerak, kali ini lebih pelan, menghindari cipratan air yang tersisa. Udara terasa sejuk, menyejukkan tubuh yang sedari tadi dibakar matahari.
Setelah melewati Polsek Bengkunat, saya tiba di depan Puskesmas Ngaras dan bertanya pada penjaga kios pulsa soal penginapan. "Di sini nggak ada, coba ke Bira," katanya. Sayangnya, Bira masih jauh.
Melirik jam—sudah pukul lima sore. Kemungkinan kemalaman besar kalau saya paksakan lanjut. Sayapun putar balik ke Polsek, berniat menginap. Seperti biasa, saya sampaikan maksud dan menunjukkan identitas. Petugas mencatat, dan satu lagi malam petualangan siap dimulai, kali ini di bawah atap kepolisian Bengkunat.


Malam di Mushola Polsek: Sepiring Ayam, Sepotong Cerita, dan Sebuah Amplop
Petugas malam itu mengizinkan saya bermalam di mushola kecil di halaman samping Polsek. Bangunannya sederhana, sekitar 6x6 meter, dengan dinding kaca yang memantulkan bayangan malam dari luar. Nyaman, tenang, dan cukup bersih untuk melepas lelah. Kamar mandi sederhana tapi bersih jadi pelengkap untuk menyegarkan diri setelah perjalanan panjang yang tak biasa.
Usai Magrib, saya ditunjukkan tempat makan oleh petugas jaga—rumah sederhana di samping Polsek. Tanpa menu tertulis, si Bude, pemilik warung yang berasal dari Jawa Tengah, menyambut ramah dan menawarkan ayam goreng plus telur ceplok. Cukup untuk mengisi tubuh yang mulai merosot tenaganya.
Sambil menggoreng pesanan, ia bercerita, membuka lembaran lama yang pahit. Ketika saya menyebut Wonosobo sebagai salah satu titik yang saya lewati, ekspresinya berubah. Ia dan suaminya, katanya, pernah mengalami hari kelam: disekap oleh empat pria bertopeng, semua barang dibawa kabur—motor, kulkas, televisi. Dan mereka bukan satu-satunya korban.
Trauma itu membuat pasangan tersebut akhirnya memilih berpindah ke tempat ini—satu keputusan sederhana yang berlandaskan rasa aman, dan kedekatan dengan kantor polisi. Ia bersyukur saya melewati daerah itu dengan selamat.
Jam sembilan malam, saya kembali ke mushola. Sebuah shareloc saya kirimkan ke teman di Bandar Lampung—sebuah amanah kecil dari obrolan kami beberapa waktu lalu. Namun tak lama setelah itu, teleponnya masuk. Ia ingin bicara dengan petugas jaga, tapi saya menolak halus, “Saya sudah aman, sudah siap tidur,” jawab saya sambil mematikan lampu mushola.
Tak lama, pintu diketuk. Seorang pria berkaus dan celana pendek mengucapkan salam. Saya buka pintu—dan ia langsung memperkenalkan diri sebagai Kapolsek. Rupanya, ia ditelepon langsung oleh teman saya dari Bandar Lampung itu. Sempat mengajak saya pindah ke rumah dinasnya, namun saya memilih bertahan: mushola ini sudah cukup nyaman.
Obrolan pun mengalir. Sang Kapolsek ternyata berasal dari Pamanukan, Subang. Anak sulungnya tengah berkuliah di Unpad. Dari sana, pembicaraan jadi lepas kendali: dari kampus, keluarga, hingga secuil harapan tentang kampung halaman.
Percakapan itu sempat terputus saat elepon beliau berdering, nadanya mendadak serius. “Utusan dari orang penting di negeri ini,” ujarnya setelah menutup panggilan. Lalu, seluruh anggota Polsek dikumpulkan. Mushola yang tadinya sunyi, kini dipenuhi beberapa orang & rapat darurat. Saya hanya duduk di sudut, merasa agak kikuk—seperti menonton sandiwara yang tanpa naskah.
Sebelum berpisah malam itu beliau memberi pesan ringan, “Besok pagi, sarapan saja di warung Bude sebelah. Oh, itu AC nyalain aja.” Sambil menjabat tangan saya erat, dan tanpa suara, menyelipkan sebuah amplop ke telapak tangan. Saya sempat menolak, tapi beliau bersikeras. Akhirnya, amplop itu saya simpan—sebagai simbol kecil dari malam yang dimulai dengan mushola sunyi dan berakhir dengan sidang darurat.































