2.6.23

RHINO CAMP & RAFFLESIA ITU


 7 JULI 2019.

Rhino Camp, Rafflesia yang Gugur, dan RX King di Tengah Rimba


Salah satu destinasi istimewa di balik lebatnya Taman Nasional Bukit Barisan Selatan adalah Rhino Camp. Terletak di sektor Sukaraja Atas, tak jauh dari jalur lintas barat antara Kota Agung dan Bengkunat, tempat ini seperti semak kecil di tepi lorong besar, mudah ditemukan namun sering terlewatkan.

Saya tahu keberadaannya dari obrolan hangat semalam bersama para Polisi Hutan, saat menginap di kantor TNBBS. Pak Ardi, sang penjaga malam, menyarankan agar saya mampir ke sana karena—katanya—bunga Rafflesia sedang mekar.

Tak ingin kehilangan momen, selepas sarapan dan berfoto bersama para petugas yang akan berpatroli, saya mengayuh kembali, menyusuri tanjakan lembut yang terasa panjang. Jaraknya hanya sekitar 4 kilometer, tapi medan berbukit menyulap waktu jadi nyaris satu jam.

Rhino Camp dulu ditata sebagai titik pengamatan badak Sumatra. Kini, badak-badak itu tak lagi datang, tapi jejaknya tetap dijaga—sebagai pangkalan untuk mengenali flora dan fauna yang tinggal di pelipis hutan.

Di sini, Rafflesia bertumbuh diam-diam, kadang mekar penuh, kadang hanya bayangannya tersisa. Ada juga bunga bangkai, kantung semar, anggrek hutan. Satwanya pun beragam—Siamang, Rangkong, Kuau, Tarsius, Kancil, dan suara Owa yang kadang menggema di lembah.

Sayangnya, saat saya tiba, kabar yang dinanti sudah lewat. “Mekarnya cuma seminggu, Mas,” kata petugas yang berjaga. Rafflesia yang disebut itu telah membusuk.

Kami pun duduk-duduk di bangunan kayu berlantai dua, tempat peristirahatan para pengunjung. Bangunan itu sunyi tapi hidup, menyimpan suara daun, cerita satwa, dan hembusan angin yang membawa aroma dedaunan basah.

Setelah cukup berbincang, saya pamit untuk melanjutkan perjalanan menuju Bengkunat.

Medan masih rolling—turun, naik, melengkung. Di pinggir jalan, sekawanan monyet besar melintas santai, kadang mengharap uluran makanan dari tangan manusia yang singgah. Suara rantai sepeda yang bergemericik, dibalut nyanyian hutan, menciptakan suasana magis yang tak bisa dibeli.

Gapura Kabupaten Pesisir Barat menjulang seperti gerbang waktu. Beberapa kendaraan menyapa, lalu menghilang di tikungan, menyisakan jejak suara dan debu.

Di tengah kenikmatan batin itu, saya melihat sebuah motor RX King yang sedang didorong oleh 2 orang pemuda. Ban belakangnya kempes parah ternyata. Saya pun menawarkan pompa yang saya bawa berharap bisa sedikit meringankan beban. Tapi angin yang masuk tak bertahan lama. Bocornya sepertinya dalam.

Kami bertukar senyum. Saya pun pamit, melanjutkan langkah, sebab hutan belum mengisyaratkan ujungnya.




Turunan Tengkorak, Es Buah, dan Pelangi di Langit Bengkunat

Hutan masih mendominasi pandangan. Rimbun dan liar, menyimpan suara-suara alam yang bergema dari balik pepohonan. Di tengah suasana itu, sebuah papan tua terpasang di tepi jalan, bertuliskan “Turunan Tengkorak — Harap Hati-hati.” Nama yang mengandung peringatan, seperti bisikan kecil dari alam tentang apa yang akan datang.

Sepeda meluncur saat jalan mulai melandai. Namun, di satu turunan tajam, mobil travel dari arah berlawanan tiba-tiba mengambil jalur saya. Asal muasalnya: sisi kanan jalan penuh lubang, sang sopir terpaksa "menyelinap" ke jalur saya dengan kecepatan tinggi. Refleks, saya menepi keluar jalur—rem menggeret pasir, tubuh limbung sejenak, dan jurang di sisi kanan seperti menatap dengan mata terbuka. Nyaris...

Seorang bapak dari pos jaga berteriak, meminta saya berhenti dulu. Tapi setelah napas kembali normal dan tangan tak lagi bergetar, saya putuskan untuk melanjutkan, tentu dengan lebih waspada. Turunan belum habis, dan kelokan terus menantang hingga akhirnya pemukiman kecil tampak di depan.

Saat jalan mulai ramah, sepeda kembali melaju. Di tikungan, saya mendengar panggilan. Seorang pemuda yang tadi saya bantu di tengah hutan—yang ban motornya bocor—ternyata sudah di sebuah bengkel sederhana. Ia tersenyum, mengembalikan pompa, dan mengajak menikmati segelas es buah sebagai tanda terima kasih.

Di tengah siang yang masih panas, kaki selonjoran di teras bengkel, es buah dingin jadi teman refleksi akan momen di Turunan Tengkorak tadi sementara Pemuda itu bercerita: ia dan temannya sedang dalam perjalanan dari Pesawaran menuju Bengkulu untuk mencari pekerjaan. Mimpi dan jalanan bersatu dalam satu lintasan.

Setelah perut mulai berbunyi, saya berpamitan. Alam mulai berubah—rimbunnya hutan berganti aroma pesisir. Pohon-pohon keras digantikan deretan kelapa yang berdansa di angin. Jalan mulai mulus, marka membimbing, dan sebuah jembatan panjang membawa saya melintasi sungai yang hening.

Langit mendung, dan sebuah warung besar yang ramai oleh mobil-mobil travel Lampung–Bengkulu yang sedang parkir, memanggil. Namun saat sedang menyantap makanan, hujan deras turun, tanpa basa-basi.

Lama ditunggu, hujan pun reda, menyisakan pelangi melengkung di langit barat. Sepeda kembali bergerak, kali ini lebih pelan, menghindari cipratan air yang tersisa. Udara terasa sejuk, menyejukkan tubuh yang sedari tadi dibakar matahari.

Setelah melewati Polsek Bengkunat, saya tiba di depan Puskesmas Ngaras dan bertanya pada penjaga kios pulsa soal penginapan. "Di sini nggak ada, coba ke Bira," katanya. Sayangnya, Bira masih jauh.

Melirik jam—sudah pukul lima sore. Kemungkinan kemalaman besar kalau saya paksakan lanjut. Sayapun putar balik ke Polsek, berniat menginap. Seperti biasa, saya sampaikan maksud dan menunjukkan identitas. Petugas mencatat, dan satu lagi malam petualangan siap dimulai, kali ini di bawah atap kepolisian Bengkunat.



Malam di Mushola Polsek: Sepiring Ayam, Sepotong Cerita, dan Sebuah Amplop

Petugas malam itu mengizinkan saya bermalam di mushola kecil di halaman samping Polsek. Bangunannya sederhana, sekitar 6x6 meter, dengan dinding kaca yang memantulkan bayangan malam dari luar. Nyaman, tenang, dan cukup bersih untuk melepas lelah. Kamar mandi sederhana tapi bersih jadi pelengkap untuk menyegarkan diri setelah perjalanan panjang yang tak biasa.

Usai Magrib, saya ditunjukkan tempat makan oleh petugas jaga—rumah sederhana di samping Polsek. Tanpa menu tertulis, si Bude, pemilik warung yang berasal dari Jawa Tengah, menyambut ramah dan menawarkan ayam goreng plus telur ceplok. Cukup untuk mengisi tubuh yang mulai merosot tenaganya.

Sambil menggoreng pesanan, ia bercerita, membuka lembaran lama yang pahit. Ketika saya menyebut Wonosobo sebagai salah satu titik yang saya lewati, ekspresinya berubah. Ia dan suaminya, katanya, pernah mengalami hari kelam: disekap oleh empat pria bertopeng, semua barang dibawa kabur—motor, kulkas, televisi. Dan mereka bukan satu-satunya korban.

Trauma itu membuat pasangan tersebut akhirnya memilih berpindah ke tempat ini—satu keputusan sederhana yang berlandaskan rasa aman, dan kedekatan dengan kantor polisi. Ia bersyukur saya melewati daerah itu dengan selamat.

Jam sembilan malam, saya kembali ke mushola. Sebuah shareloc saya kirimkan ke teman di Bandar Lampung—sebuah amanah kecil dari obrolan kami beberapa waktu lalu. Namun tak lama setelah itu, teleponnya masuk. Ia ingin bicara dengan petugas jaga, tapi saya menolak halus, “Saya sudah aman, sudah siap tidur,” jawab saya sambil mematikan lampu mushola.

Tak lama, pintu diketuk. Seorang pria berkaus dan celana pendek mengucapkan salam. Saya buka pintu—dan ia langsung memperkenalkan diri sebagai Kapolsek. Rupanya, ia ditelepon langsung oleh teman saya dari Bandar Lampung itu. Sempat mengajak saya pindah ke rumah dinasnya, namun saya memilih bertahan: mushola ini sudah cukup nyaman.

Obrolan pun mengalir. Sang Kapolsek ternyata berasal dari Pamanukan, Subang. Anak sulungnya tengah berkuliah di Unpad. Dari sana, pembicaraan jadi lepas kendali: dari kampus, keluarga, hingga secuil harapan tentang kampung halaman.

Percakapan itu sempat terputus saat elepon beliau berdering, nadanya mendadak serius. “Utusan dari orang penting di negeri ini,” ujarnya setelah menutup panggilan. Lalu, seluruh anggota Polsek dikumpulkan. Mushola yang tadinya sunyi, kini dipenuhi beberapa orang & rapat darurat. Saya hanya duduk di sudut, merasa agak kikuk—seperti menonton sandiwara yang tanpa naskah.

Sebelum berpisah malam itu beliau memberi pesan ringan, “Besok pagi, sarapan saja di warung Bude sebelah. Oh, itu AC nyalain aja.” Sambil menjabat tangan saya erat, dan tanpa suara, menyelipkan sebuah amplop ke telapak tangan. Saya sempat menolak, tapi beliau bersikeras. Akhirnya, amplop itu saya simpan—sebagai simbol kecil dari malam yang dimulai dengan mushola sunyi dan berakhir dengan sidang darurat.







24.5.23

NELAYAN & SANG PENGHUBUNG ITU.


 6 JULI 2019.

Tanjakan Basah, Duren Hangat, dan Guguran Way Lalaan


Langit subuh baru saja bergeser ketika roda mulai bergerak. Tanjakan terjal langsung menyergap—jalan basah bekas hujan dini hari seolah memberi kejutan di awal etape kedua ini. Di tengah musim kemarau, rintik yang turun semalaman terasa seperti berkah tak terduga. 

Udara dingin menggigit kulit, tapi tubuh cepat memanas. Kalori dari sarapan pagi terasa seperti menguap dalam kayuhan pertama.

Gisting, kota kecil di kaki Gunung Tanggamus, berdiri pada ketinggian sekitar 700 meter dpl. Udara sejuknya berseling suhu 18–25 °C, menghadirkan rasa pegunungan yang tak bisa dibeli. 

Sebagai pusat ekonomi dan sentra wisata Kabupaten Tanggamus, Gisting juga dikenal sebagai lumbung sayuran dan bunga. Hasil panennya menyuplai dapur dan taman kota hingga ke Bandar Lampung.

Warganya beragam: Jawa, Sunda, Lampung, Minang dll. Mayoritas muslim, tapi keragaman hidup berdampingan dengan tenang di sini, seperti warna-warni bunga dari ladang di dataran tinggi itu.

Setelah pendakian rampung, jalan menurun panjang melintasi pertanian yang sedang sibuk panen. Turunan dari puncak 800 dpl ke dataran rendah di bawah 10 meter terasa seperti meluncur dalam lukisan—berliku, penuh warna, dan diselingi bau tanah basah.

Di satu tikungan, keramaian kecil memanggil perhatian. Ternyata itu Air Terjun Way Lalaan, salah satu spot wisata alam yang tersohor di daerah ini. Tiket masuk Rp10.000 sudah termasuk parkir, rasanya seperti hadiah murah untuk melihat keindahan.

Nama “Way Lalaan” diambil dari bahasa Lampung: way berarti sungai, lalaan bermakna bermuara—merujuk pada Teluk Semangka yang menjadi tujuannya. 

Terjunan air setinggi 15 meter itu mengalir deras ke kolam alami, dikelilingi batu besar yang tampak seperti panggung alam. Bersih, menyegarkan, dan menggoda untuk direnangi. 

Lokasi ini dikelola bersama antara Dinas Pariwisata Tanggamus dan komunitas sadar wisata lokal, lengkap dengan mushola, kamar mandi, kios makanan, dan parkiran luas.

Tak hanya air terjun, di sekitar terdapat kebun durian yang terbuka untuk pengunjung. Saat musimnya tiba, siapa pun boleh memilih sendiri buahnya—dengan bantuan tim pemetik.

Saat duduk di tepi Way Lalaan, saya menghubungi seorang nama: Iqal Kitting, sosok yang direkomendasikan oleh Iwan Setyawan—pesepeda dari Bandar Lampung yang saya jumpai di event sepeda massal di Bogor itu. Sayangnya, Iwan sedang tugas di luar kota.

Iqal sedang bersepeda bersama komunitasnya saat saya menghubungi. Akhirnya kami sepakat untuk bertemu di bengkelnya yang terletak di ruas utama Kota Agung. Mudah dicari, sederhana tampilannya, namun terasa ada semangat yang membuncah di dalamnya.

Tempat itu bukan hanya bengkel, tapi juga sekretariat GOKAS—Goweser Kota Agung. Sebuah ruang silaturahmi bagi para pengayuh roda dua yang menjadikan sepeda bukan sekadar alat transportasi, tapi cara hidup.

Tak lama setelah tiba, obrolan kami diselingi aroma khas: Duren Jatohan yang baru dibawa dari kebun miliknya. Sebuah sambutan hangat yang menggoda lidah dan menyuburkan kenangan. Dalam sekejap, suasana berubah dari bengkel menjadi pesta kecil—diiringi aroma durian dan gelak ringan, menjadi salah satu momen paling wangi di sepanjang perjalanan ini.

Etape Tangguh: Lintas Wonosobo, Jejak Semaka, dan Iringan Kebaikan

Ia bercerita panjang lebar—tentang komunitas sepeda yang ia geluti, tentang nelayan yang menjerat hasil laut melebihi kapasitas, hingga pasar yang tak sanggup menampung sehingga harga jatuh tak berdaya. 

Di sela obrolan, ia memberi saya opsi tempat bermalam jika langkah hari itu tak bisa mencapai Ngaras di Bengkunat. Kalimat-kalimatnya ramah, sarat empati.

Sebelum kami berpisah, mereka mengusulkan sesuatu yang mengejutkan: mengawal saya hingga Semaka, 30 kilometer jauhnya. Saya sempat ragu, tak ingin merepotkan, tapi mereka bercerita tentang Wonosobo, kawasan yang katanya “merah”—terkenal rawan bagi pendatang baru. Kekhawatiran di mata mereka tak bisa saya abaikan. Akhirnya, saya pun menyetujui iring-iringan kawal: dua motor trail, empat orang, dan niat baik yang tulus.

Kami bergerak. Jalanan lengang, halus, dan mendatar. Sepeda saya melaju stabil, satu motor di belakang saya seperti bayangan yang berjaga, satu lagi melompat dari spot ke spot untuk memotret momen. Bahkan, GoPro saya sempat berpindah tangan ke rekan-rekan GOKAS—agar perjalanan ini memiliki lebih banyak sudut pandang.

Langit cerah tanpa kompromi. Mentari membakar waktu, bus-bus antar kota melintas sesekali, memberi kami sapaan debu yang ringan.

Kampung demi kampung terlewati, hingga kami memasuki pemukiman yang lebih ramai—Wonosobo. Secara kasat mata, tak ada yang mencurigakan. Seperti kampung lainnya: tenang, sederhana, dan sepi. Hanya pasar yang menyimpan denyut kehidupan. Namun di etape berikutnya, saya mendengar cerita dari seseorang yang sempat menjadi korban di wilayah itu—dan barulah saya memahami betapa pentingnya kawalan tadi.

Di tengah arus yang lambat, sesekali biker dari Jakarta melintas—motor gede menyapa dengan tangan terangkat. Ternyata, lintas barat ini adalah jalur favorit menuju Krui dan Bengkulu. Sawah kuning terhampar, kelapa berdiri tenang, dan dua sungai besar berpadu seolah mengantar kami sampai di tujuan: rest area Way Kerap di Kecamatan Semaka.

Tempat ini bukan sekadar tempat singgah. Ia adalah komplek Masjid Agung Semaka, menjadi titik istirahat para pejalan dan pengendara. Fasilitasnya lengkap—luas, bersih, dan penuh keramahan. Beberapa kios kecil menjual makanan lokal yang menggoda.

Waktu dzuhur memanggil. Banyak pengunjung mengisi ruang ibadah atau menikmati makan siang. Beberapa menatap sepeda saya, bertanya-tanya tentang barang-barang yang saya bawa. Darimana? Mau kemana? Pertanyaan-pertanyaan sederhana yang menyimpan keingintahuan tulus.

Setelah tiba dan beristirahat, teman-teman dari GOKAS pamit. Mereka kembali ke Kota Agung, mengakhiri iring-iringan dengan senyum dan salam. Saya membalas dengan dua jari yang terangkat, penuh terima kasih atas kebaikan mereka—yang tanpa pamrih mengawal jejak saya di hari itu. ✌✌



Di Ambang Hutan dan Hujan: Sepeda, Harimau, dan Dua Tas Misterius

Setelah sejam beristirahat—makan, ibadah dan meresapi sunyi Semaka—saya kembali mengayuh. Matahari mulai bersahabat, bidon terisi penuh, tubuh segar, semangat stabil. 

Jalanan setelah rest area mengalir datar, membelai roda dengan lembut. Tapi hanya sebentar, sebab tikungan tajam membawa pandangan ke tanjakan curam, yang berdiri seperti tantangan. Di pinggir jalan beberapa warga berteduh di pos kecil, siap siaga membantu mobil-mobil yang kalah oleh gravitasi.

Berbekal tenaga dari nasi dan doa sebelumnya, saya mulai menanjak pelan. Gradient sekitar 20%—2 kilometer penuh perjuangan. Medan lalu berubah menjadi rolling, naik-turun silih berganti. Langit kelabu menggantung dan tak lama, hujan turun tanpa ragu. Deras dan dingin.

Saya melihat ada rumah sederhana di tepi jalan dan dengan harap bisa ikut berteduh di terasnya. Ketukan di pintu tak disambut, jadi  duduk saja di kursi bambu, menunggu diam dalam hujan.

Suasana hutan mulai terasa kental. Pohon-pohon raksasa menatap langit, bunyi satwa bersahutan—saat itu saya baru faham, kaki sudah melangkah masuk ke jantung Bukit Barisan Selatan.

Beberapa saat kemudian, motor pengangkut kelapa muncul dari jalan tanah di samping rumah. Pengendara memanggil penghuni, dan seorang ibu tua akhirnya membuka pintu. Aku meminta izin berteduh, dan ibu itu menyambut dengan ramah, meski sempat merasa curiga sebelumnya.

"Ke mana arahnya?" tanya si ibu. “Bengkunat,” jawab saya. Ia menghela napas, “Masih jauh, Pak... sore begini tak aman melintasi Bukit Barisan, banyak binatang, termasuk harimau.”

Saya sempat mikir untuk mundur ke rest area, tapi teringat pesan teman-teman GOKAS: sebelum masuk BBS, ada kantor pengelola taman. Aku tanya si ibu, dan ia membenarkan. Kantornya tak jauh dari sini.

Gedung bertuliskan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan berdiri kokoh di depan. Saya masuk dan mengajukan permohonan untuk menginap sambil menunjukkan identitas. Petugas yang berasal dari dari Pringsewu itu menyambut baik, “Tidurnya nanti bareng Polisi Hutan yang besok berpatroli ya,” ujarnya.

Dengan rasa lega, saya pun membuka percakapan. Sebagai pendatang, saya ingin tahu lebih banyak. Mereka menjelaskan bahwa TNBBS ini ditetapkan sebagai Situs Warisan Dunia Hutan Hujan Tropis Sumatra oleh UNESCO pada thn. 2004 dan masuk daftar Global 200 Ecoregions versi WWF—karena habitatnya, baik darat, air tawar, maupun laut.

Di sinilah harimau, gajah, dan badak Sumatra berlindung. Kawasan ini adalah rumah terakhir mereka. Total 350 ribu hektare mencakup wilayah di Lampung dan Bengkulu, dan dikelola langsung oleh Kementerian LHK.

Menjelang maghrib, saya siapkan perlengkapan mandi dan tidur. Air dari hutan menyegarkan tubuh yang mulai lelah. Saat istirahat, terdengar suara di lobi kantor. Tak lama ada petugas datang, “Ada tamu cari Bapak.”

Ternyata tamu itu adalah Kepala Dusun. Katanya, Polsek setempat menghubunginya untuk memastikan apakah saya benar sesuai KTP yang tadi ditunjukkan ke petugas jaga. Saya mengangguk.

“Nanti akan ada yang datang menemui,” ujarnya. Pikiran pun berkecamuk. Ada apa ini? Curiga, aku menebak pasti ini ulah teman lama yang ‘berjaringan’ di Polda itu. Dan benar saja.

Mobil patroli Polsek masuk pelan ke halaman kantor. Dua petugas keluar sambil menjinjing dua tas. “Kami mohon maaf, Kapolsek tak bisa hadir langsung, tapi beliau titip ini untuk Bapak.” Ternyata, teman di Polda menghubungi Kapolsek lagi setelah saya share lokasi terakhir.

Obrolan mengalir hangat, dan mereka pun pamit. Pak Kadus dan petugas kantor bertanya-tanya: “Siapa sebenarnya Bapak ini?” saya hanya mesem aja.

Kami akhirnya makan malam bersama. Suasana cair. Dan dua tas pemberian itu menjadi semacam ‘legenda kecil’ yang menutup hari penuh kejutan di ambang hutan.




Bersambung

 

20.7.21

Bicycle Touring, Bike to Pulau KRUI SERIES by Surly Eps. 3

7.5.21

KEJUTAN DI TENGAH PENDAKIAN.

5 JULI 2019.

Pagi di Pringsewu, Jejak Roda dan Sapaan Tak Terduga


Malam pertama di Bandar Lampung berlalu begitu damai. Pagi itu, kokok ayam dari beranda belakang membangunkan saya seperti alunan simfoni alam yang membujuk pelan. 

Di meja kecil depan kamar, sepiring sarapan sudah tersaji, nasi goreng hangat dan segelas robusta yang harum. Saya membawanya ke bangunan kayu di samping penginapan, sebuah rumah khas Lampung yang dirancang pemiliknya sebagai etalase budaya.

Di bangunan bercorak etnik kontemporer itu, saya duduk. Mengunyah pelan, menghirup aroma kopi, sambil membakar sebatang rokok dan membiarkan pikiran melayang ke masa lampau, ke Lampung yang rumah-rumahnya masih bernapas dari serat kayu, bukan beton dingin seperti sekarang.

Tepat pukul delapan, sepeda kembali menjejak aspal. Target hari itu: Kota Agung, Tanggamus. Rute kota naik-turun cukup menggugah otot yang semalaman tertidur. 

Lampung di pagi hari sudah padat denyutnya, tapi selepas perbatasan, lalu lintas menyepi seakan memberi ruang untuk berpikir dan merasakan.

Saya memilih jalur lintas barat untuk perjalanan “Bike to Pulau” ini, lebih sepi, lebih bervariasi, dan pemandangannya menakjubkan seperti yang saya lihat lewat layar kecil Google Street. Lintas timur terlalu datar, terlalu sibuk dengan truk-truk dan bus besar yang tak mengenal lelah.

Sekitar satu jam setelah meninggalkan kota, saya tiba di gerbang bambu besar yang melintang di atas jalan. Tanda saya sudah sampai Pringsewu, kabupaten tetangga. Sepeda masih dalam kondisi prima, jalur pun masih ramah. 

Saya berhenti sejenak, mengabadikan gerbang, melihat-lihat kerajinan di gerai dinas pariwisata. Sebuah kaos kuning berlengan panjang bergambar Sieger saya beli untuk dikenakan di etape selanjutnya.

Hari Jumat membawa kewajiban. Saya mencari masjid yang teduh, dan menemukan satu berseberangan dengan warung Padang. Tempat yang pas untuk makan sambil menunggu waktu shalat. Saya menyusun strategi kecil: santap dulu, ibadah, lalu langsung lanjut jalan, agar waktu tak terbuang.

Pringsewu, ibu kota kabupaten, telah saya lewati. Di sekitar, hamparan sawah mendominasi lanskap. Matahari menyengat, memaksa saya mencari keteduhan sejenak. 

Di sebuah pemukiman, seorang ibu tampak sedang menenun kain tapis di bawah pohon jambu air. Sayapun berhenti, terpikat oleh aktifitasnya dan ingin tahu lebih banyak. “Pesanan untuk pernikahan,” katanya sambil tersenyum.

Tak lama, sang suami keluar membawa beberapa jambu air segar, menawari saya untuk mencicipi. Rasa manisnya menyegarkan, cukup untuk mengisi vitamin C hari itu. Beberapa jambu, sebatang rokok, lalu pedal kembali bergerak.

Menuju Kota Agung, medan mulai menanjak. Terik matahari masih setia menemani, tapi warung-warung di tepi jalan menjaga bidon saya tetap terisi. Anak-anak kecil menyapa riang, “Turis… turis!”—sama seperti dulu di Flores. Ah, nostalgia kecil di tengah tanjakan.

Saat hari mulai bergeser ke sore, saya tiba di tikungan panjang dengan jalan mendaki. Gisting menyambut, sebuah kota kecil di kaki Gunung Tanggamus. Saya berhenti di area masjid dan taman yang asri. Alih-alih memaksa diri sampai Kota Agung, saya memutuskan menetap malam ini disini.

Seorang petugas parkir, anak muda dan ramah, memberi informasi soal penginapan. Ia berujar leluhurnya dari Tasikmalaya—sebuah sambungan akar yang entah kenapa terasa dekat. Saya menyusuri petunjuk-petunjuk itu sampai akhirnya sebuah hotel sederhana di jalan desa menarik hati.

Kamar di samping kolam renang, berkasur busa sederhana, tarif seratus ribu rupiah. Cukup untuk beristirahat. Air pegunungan yang dingin di kamar mandi luar jadi pelengkap segarnya sore itu.

Karena hotel tak menyediakan makanan, saya kembali mengayuh sepeda ke warung terdekat. Ayam goreng jadi pilihan. Tapi ketika duduk menunggu pesanan, ponsel berdering dari nomor asing. Saya angkat, dan suara dari seberang mengaku dari Polsek setempat mengatakan bahwa mereka sudah di penginapan, menunggu dan ingin bertemu.

Saya sempat bertanya-tanya, ada masalah apa!? Tapi janji sudah terucap. Setelah makan, saya bergegas. Di halaman, lampu strobo dari mobil sedan patroli menyala-nyala. Dua polisi turun membawa bingkisan besar berisi makanan ringan dan minuman. “Titipan dari Kapolsek,” kata mereka.

Ternyata kabar perjalanan saya sampai ke telinga Kapolsek via teman saya di Bandar Lampung itu. Karena saya sempat share lokasi ke beliau, seperti yang ia minta, maka mereka tahu saya sedang bermalam di sini. Setelah obrolan hangat sekitar setengah jam, polisi itupun pamit untuk melanjutkan tugas yang lain lagi.

Saya mengucap terima kasih, sambil menyelipkan permohonan maaf karena merepotkan. Oleh-oleh itu terlalu banyak untuk saya bawa, jadi sebagian saya berikan ke pegawai penginapan—berbagi kecil dari perjalanan yang besar.






Bersambung


27.1.21

KOTA BESAR YANG BERSIH

4 JULI 2019.

Menepi Sejenak di Bandar Lampung: Secangkir Kopi, Sebuah Kamar, dan Jejak Teman Lama


Pagi masih malu-malu menyapa saat saya menjejakkan kaki di terminal Rajabasa yang bersih dan tertata rapi itu. Sinar matahari belum sepenuhnya membelah kabut, tapi langkah sudah bergerak menyaring informasi tentang tempat menginap. Google Maps pun jadi kompas digital di tangan, sementara aroma kopi dari warung dalam terminal memikat hati lebih dulu.

Secangkir kopi Lampung dari sang ibu pemilik warung menjadi pembuka obrolan hangat pagi itu. Ia menyebut beberapa nama penginapan yang bisa saya pertimbangkan, lengkap dengan arah dan harga seadanya. Tak butuh banyak pertimbangan, saya pun melompat ke atas ojek dan menyusuri jejak tempat-tempat itu.

Setelah beberapa kali singgah dan bertanya, saya menemukan satu tempat yang terasa pas: sebuah penginapan sederhana milik seorang dosen di Universitas Lampung. Asri, tenang, dan menawarkan tarif yang bersahabat, persis seperti harapan saya.

Kamar mungil berukuran 2x3 meter itu dihiasi kipas angin menggantung di dinding, dan yang pastinya kamar mandinya bersih, cukup untuk beristirahat semalam. Tarifnya hanya Rp100 ribu, cocok dengan anggaran perjalanan yang sudah saya susun dari jauh-jauh hari. Lokasinya pun strategis, tak jauh dari terminal Rajabasa dan kampus Unila. 

Petugas resepsionis menyampaikan dengan sopan bahwa kamar baru bisa ditempati mulai pukul dua siang karena masih dihuni. Saya pun mafhum, lalu kembali ke terminal untuk mengambil sepeda yang tadi saya titipkan ke ibu warung.

Karena tak ada angkot, pengemudi ojek mengusulkan cara yang tak biasa tapi masuk akal: menggendong dus sepeda di atas motor. Dus besar seberat sekitar 15 kg itu memang tak terlalu berat, namun bentuknya yang lebar membuat kami berkeringat saat mencoba menyeimbangkannya. Untung jaraknya hanya satu kilometer—dengan usaha dan tawa kecil di antara kesulitan, akhirnya kami tiba di penginapan dengan selamat.

Sambil menunggu waktu check-in, saya menyusun kembali sepeda yang telah lama tertidur dalam kardus. Tak lama kemudian, masa lalu datang mengetuk dalam wujud seorang sahabat semasa SMP. Kami terhubung kembali lewat grup alumni, dan ternyata ia kini menjadi petugas kepolisian di kota ini.

Ia datang mengenakan seragam dinas, ditemani sang istri yang membawa tas berisi oleh-oleh khas Lampung sebagai bingkisan hangat. Obrolanpun mengalir ringan, saling tukar cerita setelah sekian lama tak bersua. Meski tak lama, pertemuan itu terasa menggenapkan pagi yang sudah penuh warna.

Sebelum berpisah, ia mengajak saya menjelajah Bandar Lampung malam nanti—menyentuh denyut kota dari dekat, dan mungkin, membiarkan kenangan lama berbaur dengan langkah-langkah baru.



Sepeda itu akhirnya utuh kembali, satu per satu mur dikencangkan, pedal disusun, roda ditegakkan. Di luar, matahari mulai beringsut ke puncaknya, sementara perut mulai mengirim sinyal lapar. “Kedai makan di ujung jalan itu enak,” saran seorang pegawai hotel dengan senyum ringan. Langkah saya pun bergegas, sebab langit tiba2 menggelap dan hujan mulai jatuh perlahan.

Penjual di warung itu menyambut dengan cerita. “Ini hujan pertama setelah kemarau panjang,” katanya, matanya memandang ke luar seolah bernostalgia. Hujan turun pelan, membasahi daun-daun kering yang sudah terlalu lama menunggu tetes air. 

Di satu sisi, ini berkah—alam mulai bernapas lagi. Tapi di sisi lain, hati sedikit was-was: apakah hujan akan ikut menumpang di setiap etape perjalanan saya nanti?

Malam datang seperti janji yang ditepati. Kami keluar dari hotel, dan Bandar Lampung menyambut dengan wajah kota yang tumbuh cepat. Deretan perusahaan multinasional mulai mengisi ruang-ruang usaha, gedung tinggi berbaris rapi, dan jalanan bersih seperti baru disapu hujan tadi sore. Kotanya terasa lebih teratur, lebih tertata, dibanding kota kelahiran saya yang masih menyimpan riuh.

Tanpa diduga, kami melangkah menuju sebuah mall yang baru diresmikan tahun lalu. Saya sempat kikuk, jaket lapangan, celana petualangan, kontras dengan sahabat saya yang tampil rapi. Tapi ia hanya tersenyum dan menepuk bahu, “Tenang saja, kamu tidak salah kostum. Kamu cuma sedang jadi dirimu sendiri.”

Mall itu terawat dengan baik. Fasilitasnya lengkap, atmosfernya seperti cuplikan dari kota besar. Beberapa ekspatriat terlihat berlalu-lalang, menjadi penanda bahwa Lampung bukan lagi halaman belakang, tapi mulai jadi persimpangan bagi orang-orang dari berbagai belahan dunia.

Saat kami menyusuri koridor menuju Food court, beberapa pengunjung menyapa sahabat saya dengan hormat. Rasa penasaran menuntun saya mencari tahu. Ternyata ia bukan sembarang kawan SMP: ia adalah perwira polisi dengan rekam jejak panjang di berbagai wilayah dan posisi. Terkenal, disegani, tapi tetap membawa ketulusan yang sama seperti dulu.


Bersambung

25.9.19

KAPAL CEPAT, DERMAGA BARU



3 JULI 2019.

Menuju Lampung:

Dalam Balutan Debu, Cahaya, dan Mesin yang Menyalak


Langit kemarau menggurat panas yang tak bersahabat saat saya melangkah pelan menuju pool Damri di utara kota Bandung. Matahari serasa menenggelamkan aspal, namun semangat telah dibungkus rapi—bersama sepeda di dalam dus karton, siap bersandar di bagasi bus menuju Bandar Lampung.

Tiket telah dibayar kemarin: Rp195 ribu untuk tempat duduk, dan tambahan Rp150 ribu untuk si roda dua kesayangan, langsung ditunaikan ke awak bus sebelum waktu keberangkatan. Praktis, tak banyak basa-basi.

Selepas Isya, mesin dipanaskan. Bus berkabin dingin dan kursi yang bisa direbahkan mulai melaju menembus malam, dengan formasi 2-2 yang memuat 40 jiwa dengan beragam tujuan. Di sebelah saya, seorang pemuda yang merantau lima tahun lamanya di Bandung, akhirnya pulang ke kampung halaman. Ia bukan hanya membawa koper dan kerinduan, tapi juga cerita-cerita kecil yang dipungut dari rak-rak toko ritel tempatnya bekerja.

Memasuki Bekasi, perjalanan tersendat. Di luar jendela, tiang-tiang beton menjulang: jalan layang tol dan LRT sedang dirakit serentak. Infrastruktur yang katanya dibangun untuk mengalirkan manusia dan barang dari timur ke jantung negeri, tapi malam itu ia jadi dinding penghambat bagi kami yang hanya ingin berpindah tempat.

Lambat laun, laju bus kembali seperti biasa. Penumpang terlelap, dan saya pun ikut hanyut, bergoyang ringan bersama suspensi.

Dini hari menjelang. Di pintu masuk pelabuhan Merak, polisi tidur menggiring kami terjaga perlahan. Sang kondektur, layaknya pramugara darat, menawari dua pilihan: mau menyeberang dengan kapal ferry biasa atau yang berkecepatan tinggi? Kami sepakat, tak ingin berlama-lama di laut - ferry cepat jadi jawabannya, meski harus merogoh tambahan Rp10 ribu.

Dermaga yang kami tuju terlihat masih baru. Dibangun dengan estetika modern: kios-kios ritel dengan sistem transaksi elektronik, atap baja ringan yang memantulkan cahaya lampu dermaga, dan deretan kursi tunggu yang bersih. Sayang, pusat belanjanya sudah tutup. Mungkin nanti saya kembali sebagai turis, bukan penumpang bus.

Kapal melaju, dan benar saja—tak sampai satu jam kami sudah berlabuh di Bakauheni. Sang supir segera menyalakan mesin dan meluncur sigap. Kota masih diselimuti kabut pagi saat bus menjejak terminal Rajabasa pukul enam. Selamat datang di Lampung: kota yang dipenuhi elemen Siger, simbol kebesaran tradisi dan keramahan bumi Ruwa Jurai.





Labels: , , , , , , , , , , , , ,

17.9.19

BIKE TO PULAU #2 Lampung, Sang Bumi Ruwa Jurai

MENGAYUH KE SELATAN : 

Sepenggal Cerita dari Lampung, Sang Bumi Ruwa Jurai..


Setelah sekian lama roda sepeda beristirahat dari petualangan panjang, akhirnya saya kembali menyusuri jalanan, kali ini menuju Lampung, sebuah provinsi yang berada di ujung selatan pulau Sumatera. 

Perjalanan solo sepanjang kurang lebih 450 kilometer ini dimulai dari Bandar Lampung dan berakhir di Bukit Kemuning, dengan jalur yang melintasi Kota Agung, Bengkunat, Krui, Liwa, hingga Danau Ranau yang mistis.

Rute ini bukan pilihan acak. Ia lahir dari percakapan hangat dengan seorang kawan bernama Iwan Setyawan, yang saya jumpai dalam acara Zero to Zero tahun 2017, sebuah hajatan sepeda massal dari kilometer nol Bogor ke kilometer nol Bandung. 

Di sanalah, di antara keringat dan semangat, Iwan berkisah tentang kampung halamannya: Lampung, dengan lanskap alam yang memesona, budaya yang kaya, dan sejarah yang menyimpan lapisan-lapisan makna.

Obrolan itu merasuk jauh ke benak saya. Rasa ingin tahu bertumbuh, dan akhirnya mesin pencari menjadi pintu masuk menuju Lampung secara virtual, sebelum kaki ini benar-benar menapakinya. Dan saya tahu, ini bukan sekadar perjalanan. Ini adalah pemenuhan janji pada rasa penasaran.

Pantai baratnya, yang menatap langsung ke samudra Hindia, membentangkan garis pesisir berpasir putih dan ombak yang menggoda. Sementara Danau Ranau, tersembunyi jauh di dalam Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, menawarkan ketenangan yang seolah melupakan dunia luar. 

Tapi bukan hanya itu, budaya di sini lahir dari percampuran yang unik: lokal dan pendatang, tua dan baru, bersatu dalam keharmonisan yang menyusun wajah Lampung hari ini.

Sejarah Lampung tak kalah menggugah. Pada tahun 1905, wilayah ini menjadi panggung kolonisasi Belanda. Mereka membawa rombongan dari Jawa dan Bali, melintasi laut dengan kapal, lalu berjalan kaki sejauh lebih dari 70 kilometer dari pelabuhan Panjang menuju hutan belantara di daerah Gedong Tataan. Tiga hari perjalanan, mereka memikul barang di pundak, sebelum akhirnya membuka lahan untuk kepentingan penjajah.

Pasca kemerdekaan, ide itu dilanjutkan oleh pemerintah Indonesia dalam skema transmigrasi. Dari waktu ke waktu, percampuran etnis membentuk identitas baru: budaya Lampung yang plural, yang berakar tapi tetap terbuka.

Dan dari metamorfosis itulah muncul semboyan yang memayungi kebhinekaan: Lampung, Sang Bumi Ruwa Jurai. Sebuah tanah yang menjadi rumah bagi mereka yang datang dari berbagai penjuru, dan pelabuhan bagi jiwa-jiwa petualang seperti saya.



Labels: , , ,